Ada dua hal yang terbersit di benak saya ketika berkenalan dengan Aktivis pertanian asal Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT, Maria Loretha yang kembali menghentakan jagat nusantara setelah dirinya dinobatkan menjadi salah satu penerima penghargaan Anugerah Seputar Indonesia 2015 yang diselenggarakan sebagai bentuk penghargaan tertinggi bagi para pejuang Ibu Pertiwi yang tak kenal lelah mengabdikan dirinya untuk Indonesia pada tanggal 09 Juni 2015 yang lalu.
Pertama, Maria Loretha bukanlah orang asli Adonara. Namun meski demikian aktivitas harian yang dilakukan oleh dirinya baik di Adonara maupun Pulau Flores telah banyak membawa perubahan di daerah tersebut. Bahkan aktivitasnya jauh lebih unggul dibandingkan dengan orang-orang aslinya. Saking dekatnya dengan rutinitasnya dan masyarakat NTT, Maria Loretha lebih memilih menjadi orang NTT (baca Flores) yang berkepribadian. "Harapan saya terhadap perempuan Flores ya tetap menjadi perempuan Flores yang berkepribadian mencintai lingkungan alam dan budaya, menjaga kesehatan dirinya dan membuka diri untuk mau berubah secara positif," kisahnya mengawali cerita dengan MF. Tampil sederhana tanpa riasan, ia berpostur langsing, rambut menjejak pundak serta kulit kuning adalah riasan naturalis wanita keturunan Dayak Kanayatn yang berubah “eksotis” kecokelatan karena terpapar sinar matahari dan kini menjadi ikon sorgum di Indonesia dan dipuja banyak khayalak ramai. “Kalau di Jakarta saya dianggap sampah, tetapi di Nusa Tenggara Timur menjadi selebriti,” ungkapnya berseloroh. Kedua, anugerah Seputar Indonesia 2015 adalah penghargaan kesekian kalinya bagi Maria Loretha setelah sebelumnya menerima Forum Akademia NTT Award, Kartini Award, Kehati Award, Ashoka Global Washington DC 2013 dan penghargaan nasional dan internasional lainnya. Tetapi siapa menyangka bahwa tanah Flores Timur yang kini telah menjadi surganya sorgum yang lahir dari perjuangan Maria Loretha sebenarnya adalah tanah yang tidak pernah diimpikan dan telah memaksanya menjatuhkan air mata duka karena terkenal dengan ladang gersang. Siapa sangka dari air mata yang jatuh itu kini mengeluarkan air mata bahagia karena banyak apresiasi penghargaan bagi Maria loretha. Kini namanya menjadi buah bibir karena keuletannya. Pasalnya, Perempuan itu sering meneteskan air mata saat awal-awal ia dan keluarganya berdiam di pesisir Flores. Kamarnya hanya berjarak 35 meter dari bibir pantai. “Setiap ada kapal Pelni lewat, KM Awu dan KM Sirimau, saya cepat-cepat lari ke dermaga, hanya mau melihat dan berpikir kapan bisa pulang, karena tidak punya uang. Mau minta uang pada orangtua malu,” kisahnya kepada media ketika menceritakan momen awal di Flores. Hanya ketekunan dan kerja keras yang membuat dirinya mampu melawan situasi batas ini. "Saya hanya bawa DUIT: Doa, Usaha, Ikhlas dan Tekun," ungkapnya kepada setiap media ketika ditanya mengenai semangatnya. Setiap kali menyebut profesi sebagai petani, jarang ada yang mau percaya. “Dahulu, bila saya datang untuk memberikan pendampingan dan membagi bibit sorgum, disangka bawa banyak uang. Memang dukungan finansial itu penting, namun bukan segalanya. Sebelum memulai pembicaraan, selalu saya tekankan, ‘Saya hanya bawa DUIT: Doa, Usaha, Ikhlas dan Tekun’. Nah, sejak saat itu tidak ada lagi yang bertanya saya akan bagi-bagi uang,” tambah Maria Loretha yang biasa disapa Mama atau Tata—dalam bahasa setempat adalah ‘kakak'. Cerita suksesnya Maria Loretha, Aktivis pertanian yang meraih anugerah seputar Indonesia 2015 Untuk kategori Tokoh Pengabdian yang aktif mengembangkan tanaman sorgum sebagai pangan lokal sebenarnya tercetus sama seperti yang dilakukan oleh penemu teori relativitas khusus yakni adanya perhatian pada kondisi manusia, ketidakadilan sosial, dan kebajikan-kebajikan seperti sifat tak mementingkan diri sendiri dan pengabdian kepada cita-cita yang lebih tinggi. Sepuluh tahun setelah cerita sukses Albert Einstein menemukan teori relativitas khusus, ia menemukan teori relativitas umum yang menjelaskan gravitasi bukan hanya sebagai suatu daya, tetapi lebih tepatnya sebagai pelengkungan ruang-waktu. Sebelum Einstein, para fisikawan telah memandang waktu dan ruang betul-betul terpisah satu sama lain, materi dan energi berbeda secara mendasar, dan gravitasi sebagai daya misterius yang bertindak dari jauh melalui ruang kosong. Cerita sukses dari karya Einstein membuktikan bahwa semua kepercayaan ini salah, merevolusi konsep-konsep dasar kenyataan. Seperti kebanyakan pelopor fisika modern, Einstein mengajar di universitas-universitas Jerman hingga Nazi berkuasa. Pada tahun 1933, ia melarikan diri ke Amerika Serikat dan menghabiskan sisa hidup aktifnya di Lembaga Universitas Princeton untuk Studi Lanjut di New Jersey. Di sana ia melanjutkan cerita sukses pencarian teori medan terpadu yang akan menyatukan ruang, waktu, dan gravitasi dengan elektromagnetisme. Cerita sukses Albert Einstein banyak dihabiskan untuk fokus pada proyek ini daripada yang lain. Di sepanjang cerita sukses hidupnya, Einstein bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis dan juga ilmiah. Ia sangat menaruh perhatian pada kondisi manusia, ketidakadilan sosial, dan kebajikan-kebajikan seperti sifat tak mementingkan diri sendiri dan pengabdian kepada cita-cita yang lebih tinggi. Pandangan-pandangan religiusnya sebagian besar dipengaruhi oleh Baruch Spinoza, yang kehidupannya sejajar dengan Einstein di dalam banyak hal. Seperti cerita sukses teori-teori Einstein, karya terbesar Spinoza, Ethics, mengungkapkan mistisisme rasionalnya di balik abstraksi-abstraksi logis sambil menyimpulkan bahwa harmoni alam membuktikan keberadaan Tuhan. Dan bahwa kesederhanaan yang anggun, keesaan yang telah lama diharapkan Einstein dalam setiap cerita suksesnya, ditemukan di dalam teori medan terpadu yang sukar dipahami, memegang kunci bagi segala pengertian. Seperti ditulis Einstein: “Semua agama, seni, dan ilmu adalah cabang-cabang dari pohon yang sama. Semua cita-cita ini diarahkan pada pemuliaan kehidupan manusia, mengangkatnya dari lingkungan keberadaan jasmani dan membawa individu menuju kebebasan duniawi.” Kini nama Maria Loretha memang tidak asing lagi bagi masyarakat Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Berkat kegigihannya, ia mampu mempopulerkan kembali sorgum yang berguna untuk mengatasi krisis pangan di wilayahnya. Sama halnya dengan Einstein kekuatannya itu adalah fokus pada apa yang dibuatnya. Hasilnya, kiprah perempuan yang kerap disapa Mama Tata ini pun mendapat apresiasi hingga tingkat internasional. Sedangkan terkait dirinya meraih Anugerah Seputar Indonesia 2015 dirinya punya kisah sendiri. Pasalnya saat itu dunia musik dangdut Indonesia dihebohkan dengan munculnya Azizah sebagai salah satu kontetas yang masuk final di ajang Kontes Dangdut Indonesia (KDI). Azizah adalah sosok fenomenal dari Flores. Dan di ajang final, ikon Flores ini juga tersingkir karena poling SMS. Kecemasan itu sempat membuat mama Tata dilematis. "Status di FB pasca kekalahan Azizah yang mewakili NTT sangat miris. Saya sempat ajukan ke RCTI menolak dengan sistem pemilihan SMS VOTING. Karena kita pasti kalah dan orang kita tidak punya modal untuk beli pulsa yang sekali sms Rp. 2.000 lebih bukan karena jumlah penduduk NTT sedikit tetapi juga karena jaringan internet yang lemot," kisahnya mengenai keterlibatan menjadi nominator di salah satu acara bergengsi di tanah air ini yang salah satu penilaiannya melalui poling SMS. Selain itu, mama Tata juga harus bertarung dengan semua nominator yang rata-rata adalah orang-orang hebat bahkan beberapa dari mereka sudah menerima penghargaan international. "Jadi belum ada kepastian SIAPA pemenang. Baru 80% belum yakin benar untuk raih kemenangan total," tegasnya. Keyakinan yang besar ini membuktikan bahwa KERJA KERAS & CERDAS akan dihargai."Dan kita buktikan orang NTT pasti BISA !,"tegasnya. Hal ini yang membuat para juri kagum bahkan menganggap dirinya melakukan kerja "Gila" dengan usahanya karena Mama Tata mampu lakukan sendirian dan gagasan dia tentang pangan sangat tepat dan urgen. "Pikiran gue langsung ingat isu beras plastik...hhhahahahaa....," katanya berseloroh. Pengalaman pribadi juga yang membuat dirinya yakin meraih kemenangan meski hanya melalui mimpi. "Dua malam menjelang penerimaan Anugerah...eh bapak saya tiba-tiba nongol dan tersenyum...(dalam mimpi) pe-de aja...saya yakin untuk kompetisi kali ini saya yakin saya mampu bersaing dengan orang Jawa, China, Batak...dll,"sharingnya lagi Ayahnya meninggal di bulan Januari yang lalu di Pontianak. Beliau mantan hakim yang pernah mengadili tokoh kontroversial Zanana Gusmao pasca pembebasan TIMTIM. "Yang gak pernah saya sangka saya ditawari pengusaha besar untuk bantu Zanana kembangkan pertanian di Timor Leste. Waaahhh gak kebayanglah, gak deh. Urus NTT aja belum selesai koq. Masih banyak PR. Selama ini saya mampu mengatasi persoalan di lapangan terutama ketika bersinggungan dengan masalah hukum saya pasti telpon bapak. Mulai kasus hewan masuk dan merusak kebun orang, masalah batas kebun, penyelewengan dana, sampai pembagian harta warisan. Kita selesaikan dengan damai. Biasanya saya keras soal ini sehingga kedua belah pihak melihat "gaya" saya mungkin...jadi bete sendiri," tambahnya lagi. Namun meski demikian, Ibu Tata tetap sederhana menanggapi setiap prestasi prestesius yang telah diterimanya. "Sebagai bagian dari masyarakat Flores walaupun apa yang saya kerjakan sepi dari puja dan puji namun dengan rendah hati saya bangga karena mampu memberikan yang terbaik untuk Alam dan Rakyat NTT khususnya," ucapnya kepada MF pasca penerimaan penghargaan ini. Kini Mama tata ingin kembangkan sorgum ke seluruh Flores riil dan luas. "Saya tidak main demplot kecil-kecil lagi udah hektaran...karena penting untuk meningkatkan ekonomi dan menjawab solusi buruh migran dan trafficking," tandasnya. Baginya Sorgum bukan hanya untuk perut lebih dari sekedar jawaban kurang gizi tapi bagaimana mewujudkan Flores Lembata berdaulat pangan bukan cuma SLOGAN. Meski demikian tidak semua daerah di Flores akan ditanam sorgum. "Kita tidak ganggu lahan basah, biar tetap ditanami padi jagung. Kita hanya ganggu lahan-lahan kurus kering nganggur yang pemerintah & NGO tidak sentuh," paparnya. Maria Loretha sendiri lahir 28 Mei 1969 di Ketapang, Kalimantan Barat, menempuh pendidikan di SMP Mater Alma di Ambarawa, lanjut ke SMA Fransiskus Xaverius di Kramat Jakarta lantas menamatkan kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Merdeka, Malang. Menikah dengan Jeremias Dagang Letor, pasangan ini bermukim di Malang. Namun Krisis Moneter pada 1997 membuat mereka meninggalkan tanah Jawa dan pindah ke Flores. Tata dan suaminya memutuskan untuk bertani. Keinginan mereka didukung potensi kebun milik keluarga Jeremias di Desa Pajinian, Kecamatan Adonara Barat, Pulau Adonara, Flores Timur. Lahan ini belum pernah disentuh, apalagi sang suami juga berasal dari keluarga berada.Tata memanfaatkan kondisi tanah semi ringkai (kering karena iklim) untuk menanam kacang nasi (kacang tolo) serta beras merah. Dari kacang tolo dan beras merah, perempuan yang tetap fasih berbahasa logat Jawa timuran ini merambah tanaman sorgum secara tidak sengaja. Maria Helan, sang tetangga di kebun memberikan satu piring watablolon, sorgum kukus ditaburi kelapa parut. Cita rasanya sungguh nikmat, gurih berlemak mirip nasi pulen. “Perempuan inilah sumber inspirasi saya!” Dari setengah gelas bibit watablolon warna cokelat pemberian Maria Helan, Tata mendapatkan motivasi untuk mencari bibit sorgum di sekitarnya. Seperti mengunjungi Agustinus di Desa Nobo, Kecamatan Ile Bura, Flores Timur yang dengan senang hati berbagi bibit. Lalu Tata juga mengumpulkan bibit sorgum dari Sumba, Sabu, Rote dan Manggarai. Upaya pencarian dan mengoleksi tidaklah selalu mulus. “Ada lembaga yang pelit saat diminta dan dalam hati saya berjanji: bila sukses saya kembangkan akan saya bagikan gratis kepada petani!,” tekadnya kala itu. Keberhasilan memanen sorgum mulai 2007 semakin membukakan mata Tata. Tanaman ini memiliki potensi besar untuk mengatasi rawan pangan, perubahan iklim dan terpenting memiliki fungsi untuk |
Mama Tata tersenyum di antara mekaran sorgum
kecukupan gizi, produk bebas
gluten sampai santapan aman bagi pengidap diabetes. Di rumahnya, ia melakukan
inovasi dengan mengolah sorgum menjadi bubur dan semacam kue mangkuk dan cucur
diberi gula merah.
Debut Tata untuk menyebarluaskan sorgum terbuka lebar saat menghadiri forum petani dan nelayan yang dibuat oleh LSM, tokoh masyarakat dan pengurus gereja pada 2010. Berbagai organisasi tani menampilkan pembicara serba hebat dan memaparkan keberhasilan di bidang tanaman unggulan sampai organik. Ketika tiba gilirannya untuk berbicara di panggung, Tata bercerita, bahwa ia memfokuskan usaha di bidang pangan lokal dengan penggunaan benih-benih lokal. Uniknya, justru hal ini membuat para pendengar kaget. “Sorgum memang nama latin, tetapi ada namanya dalam bahasa daerah—hal ini membuktikan, bahwa bahan pangan ini tumbuh di sekitar kita, termasuk NTT,” urai Tata. Sejak itulah ia menjadi “selebritas”. “Saya dikejar dan ditelepon setiap hari oleh para petani sampai stress, seperti sinetron! Mereka mau dikenalkan kepada pangan lokal ini. Juga perlu bibitnya.” Dari Yayasan Cinta Alam Pertanian Kadiare yang ia dirikan, Tata berhasil mendampingi beberapa kelompok tani di delapan kabupaten, yaitu Ende, Nakegeo, Manggarai Barat, Sumba Timur, Rote Ndao, Lembata, Sikka dan Flores Timur. Suka-duka pun mengiringi langkahnya, seperti kehabisan uang di jalan sehingga mesti berhutang kepada sopir mobil travel, sampai naik truk untuk menghemat pengeluaran. “Saya tidak pernah mengharap dibayar dan upah yang saya terima tidak berupa uang. Bila yang mengundang adalah petani lahan basah, pulangnya dibekali hasil pertanian mereka, seperti beras hitam, pisang sekarung dan ikan kering beberapa plastik,” ungkap Tata. “Senangnya, kalau sudah berhasil, telepon berdering, ada kiriman sms sampai komentar langsung, ‘aduh luar biasa ibu, itu bibit dari ibu’.” tambahnya. Beberapa prestasi para kelompok petani binaannya pun mendatangkan rasa haru bagi Tata. Seperti Aliansi Petani Lembor (APEL) di Kabupaten Manggarai Barat yang saat panen sorgum gagal akibat dimakan sapi dan kerbau tidak berani bercerita karena takut ia marah. Kini mereka berhasil. “Suguhan mereka sekarang, setiap pagi bubur sorgum dan minum kopi serta camilan pop-corn sorgum. Dan mereka pun berhasil menjadi pembicara sebagai agen perubahan menggantikan saya,” tuturnya bangga. “Sedang Kelompok Perempuan Kadiare dan Nogo Gunu berhasil menciptakan juice sorgum dan sorgum dimasak dalam bambu. Kesuksesan saya ini, terbukti tidak sendiri, karena bukan hanya saya yang makan sorgum tetapi orang-orang sekitar dan pulau-pulau sekeliling kami.” Semakin dikenal luas sebagai seorang agen perubahan yang mengangkat sorgum sebagai sumber kekuatan pangan lokal, Tata memaparkan Kehati Award 2012 merupakan kebanggaannya sebagai perempuan. Ia mengingat kembali kehadirannya di panggung Praktek Cerdas di Lombok NTB yang diadakan oleh BaKTI Makassar sebuah LSM, untuk membawakan dongeng versi Lamaholot tentang asal usul benih di Flores. Sebuah pengorbanan besar dari Emahingi Nogo Guno, perempuan yang mengorbankan hidupnya bagi ketujuh saudara laki-lakinya dan membawa benih-benih seperti sorgum, labu kuning sampai padi ke |
Foto kenangan Saat Penerimaan Anugerah seputar Indonesia tahun 2015 yang dikirim ke penulis
negeri itu. Sampai hari ini, “peran
perempuan di dalam mata rantai pertanian sangat besar, tetapi penghargaan belum
ada. Saya mendambakan kami, kaum perempuan mendapatkan peran setara,”
ujarnya lugas. “Setara itu bukan menyamai kaum laki-laki dalam segala hal, tetapi bagaimana perempuan mendapat porsi yang tepat, dari produksi sampai pasca panen dan pemasaran.” Mengemban tanggung jawab sosial sebagai penerima Kehati Award serta upaya terus mewujudkan mimpinya menjadikan sorgum sebagai primadona pangan NTT, Tata menggelar Rembug Pangan dan Festival Benih beberapa saat lalu. Ini sebuah upaya untuk merangkul LSM serta berbagai pihak terkait, juga membukakan mata tentang seorang Maria Loretha sebagai seorang petani sejati—bukan sosok orang kaya seperti yang diduga. “Saya mengajak para pendukung, termasuk para pastor, ketua kelompok tani dan para pengurus yang rela bekerja tanpa digaji dan bersama kami membuat acara ini pada Mei 2014,” jelasnya. Selain pihak lokal dan regional, hadir pihak-pihak penting seperti Kementerian Pertanian, BB Biogen Kementerian Pertanian, Flitmas Undana Kupang, FIELD, Wet Lands, Kehati, Caritas Maumere, API, PIKUL,WETLAND, Yaspensel Keuskupan Larantuka, Pertamina dan banyak lagi, termasuk perwakilan petani dari Sumba dan Rote yang dibiayai oleh para NGO. “Seluruh tamu langsung ke kebun saya dan saya tunjukkan kondisi sebenarnya. Mereka mandi di sungai dan di pantai, serta tidak ada listrik. Di kesempatan itu, saya munculkan sorgum.” Kini, Tata juga tengah merajut mimpi tentang ekowisata. Di lahan seluas 160 hektare di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kecamatan Demon Pagong, Keuskupan Larantuka bekerja sama dengan salah satu yayasan dari Jakarta akan membangun sebuah desa wisata, dilengkapi SMK Pariwisata. Meski terpencil, desa tepi laut ini menyuguhkan pemandangan begitu indah. Hamparan laut bening dengan pantai berpasir putih lembut, di seberang kanan terdapat Pulau Solor dilengkapi hamparan sabana, sedang di kiri adalah Adonara yang menghijau. Tambahan lagi, di salah satu bagian lahan juga siap ditanami sorgum bermacam jenis, sehingga menghasilkan tampilan warna-warni pelangi seperti taman tulip di Keukenhof, Belanda. Pencanangan desa wisata di Dusun Likotuden juga menjadi jawaban dalam menciptakan lapangan kerja, mengingat begitu banyak warga Flores dan Adonara menjadi buruh migran. “Saya juga ingin menghadirkan pentas kolosal, memboyong petani membuat pertunjukan di Jawa tentang sorgum—apalagi saya juga memiliki latar belakang berkesenian,” lanjut Tata, “sehingga pihak-pihak yang ingin membuat bio etanol, menjadikan sorgum bahan pangan yang gluten free dan kecukupan gizi semakin terbuka kesempatannya. Sudah menjadi mimpi saya bahwa sorgum layak menjadi primadona pangan NTT.” Tata mengakui, ia menjadi petani karena kurangnya lapangan pekerjaan. Namun sejatinya hal ini dapat menjadi sebuah motivasi. Dicontohkannya bahwa beberapa lulusan fakultas pertanian dan SMK Pertanian enggan pulang mengelola kebun orang tuanya yang berada di luar Jawa. “Alasannya gengsi kerja kotor, sementara saya yang berasal dari keluarga berkecukupan di Jawa, masih mau bekerja menjadi petani,” lanjut Tata. |
Tetap menatap ke depan dengan sejuta harapan
Kini, Maria mengisi hari-harinya dengan bertani sorgum di ladang dan melakukan pendampingan ke berbagai wilayah. Ia mengaku beruntung didukung keluarganya, terutama sang suami, Jeremias D. Letor yang mau menjaga dan merawat kebun sorgum miliknya ketika ia harus pergi. Sedangkan keempat anaknya saat ini bersekolah dan kuliah di Bali dan Kabupaten Ende, Flores. Soal biaya untuk semua kegiatan terkait sorgum, Maria mengaku hal itu bukanlah masalah utama. Selama ini ia merogoh kocek pribadi untuk melakukan pendampingan. Ia mensiasatinya dengan menjual hasil komoditi kelapa, biji jambu, beras hitam, dan sorgum. Biasanya kalau ada undangan seminar dari pemerintah atau NGO, ia gunakan uang sakunya untuk kegiatan pengawasan. Ada juga urunan dari teman-teman LSM dan Pastor. Yang membuat Maria lega dan tak khawatir lagi, di tahun 2014 tahun lalu Keuskupan Larantuka melalui Yaspensel merangkul Maria Loretha dan petani pendukung mengembangkan sorgum. Saat ini ia sudah tidak terlalu pusing dengan masalah pengaturan uang untuk pendampingan dan lain-lainnya. Ia bersyukur, usaha sederhana yang tampak tak berarti ini ternyata mendapat perhatian banyak pihak. Bagi Maria, lewat sorgum ia dapat memberikan manfaat untuk orang lain dan bisa berkarya. Program Sorgum Bergizi, Sorgum Berduit yang digagasnya sangat sarat makna. Betapa sorgum yang sederhana dan pernah ditinggalkan serta dilupakan masyarakat, ternyata berhasil mengangkatnya menjadi besar, bukan hanya di Indonesia saja tetapi juga dalam lingkup internasional. Tekad Maria untuk terus bertanam sorgum pun diakuinya tak akan pernah surut. Sorgum seakan menjadi tantangan bagi semua pihak untuk berkomitmen mengembangkan tanaman pangan ini. Menghadapi tantangan alam seperti iklim yang terus berubah, ternyata sorgum tanaman yang sangat tahan banting. Alih fungsi lahan dan pertambahan jumlah penduduk membuat semua masyarakat perlu bersama-sama memikirkan mencari pangan alternatif pengganti beras. Rasa optimisnya bukan tanpa alasan. Sebab sorgum juga bisa ditanam di pesisir Jawa Timur, Banten, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Sorgum sendiri sangat cocok ditanam di daerah berpasir, tanah kering bebatuan, asalkan tidak lebih dari 400 dpl. Jika ingin mengetahui lebih jauh tentang sorgum dan benih sorgum, padi hitam, jewawut, dan jagung pulut, Maria pun mempersilahkan siapa saja mengirimkan pertanyaan kepada Cinta Alam Pertanian Kadiare melaui email [email protected]. Maria berharap pemerintah di Flores akan semakin menggalakkan pemasaran produk-produk pertanian dari lahan kering tersebut. . |